May 7, 2009

Larangan Wanita Saat Haid ¿?




Seorang wanita yang sedang haid atau nifas diharamkan melaksanakan kewajiban-kewajiban gama sebagaimana diharamkan bagi orang yang sedang junub, seperti kewajiban shalat, menyentuh mushhaf dan membaca AI-Qur'an. Tambahan lain bagi seorang yang sedang haid atau nifas daripada seorang yang junub, antara lain adalah:

1. Berpuasa

Seorang wanita yang sedang haid atau nifas diharamkan berniat puasa wajib ataupun sunat. pabila ternyata ia berpuasa maka puasanya itu tidak sah. Dan barang siapa di antara mereka melakukan hal tersebut pada bulan Ramadhan berarti ia telah menyiksa dirinya sendiri dan erdosa. Dan hal itu merupakan sesuatu kebodohan yang buruk. Wanita yang haid/nifas harus meng-qadha' puasa Ramadhannyanya yang terlewatkan, selama hari-hari haid/nifasnya. Sedangkan shalat yang terlewatkan, maka ia tidaklah wajib meng-qahda'nya, karena shalat tersebut berulang-ulang di setiap harinya, sehingga dengan demikian akan memberatkannya untuk meng-qadha'nya. Sedangkan AIIah SWT bermaksud menghilangkan rasa berat dan esulitan dari diri manusia. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan.” (Q.S. 22: 78).


2. Beriktikaf

Seorang wanita yang sedang haid/nifas tidak shah melakukan i'tikaf. Dan hukum ini memang tidak berlaku bagi laki-laki.


3. Menjatuhkan thalak kepadanya

Menjatuhkan thalak atas wanita yang sedang dalam masa quru' (:masa haid atau masa suci) adalah haram. Dan meskipun haram, namun thalak itu tetap jatuh. Akan tetapi laki-lakinya itu disuruh rujuk kembali jika bagi wanita itu masih ada kesempatan untuk dirujuk.
Barang siapa ingin mengeiahui tentang hukum menthalak wanita haid serta bentuk larangan lain yang terdapatdidalamnya; begitu pula yang ingin mengetahui pembagian thalak seperti thalak sunni, thalak bid'i, thalak haram, thalak jaiz (boleh) dan seterusnya, maka dipersilahkan untuk membaca jilid berikutnya.


4. Mendekati wanita yang sedang haid .

Seorang wanita yang sedang haid diharamkan memberikan kemungkinan bagi sang suami menjimaknya. Sebagaimana juga haram bagi sang suami untuk menggaulinya sebelum darah haidnya berhenti dan mandi. Jika wanita itu tidak dapat mandi, maka ia wajib bertayammum sebelum dijimak.


5. Beristimta' (menikmati) sesuatu yang terdapat di antara pusar dan lutut

Bagi sang istri diharamkan memberikan kemung¬kinan terhadap suaminya untuk menikmati anggota bagian ini, sedang ia dalam keadaan haid. Sebagaimana suami tidak boleh memaksanya untuk melakukan hal tersebut; kecuali apabila ia menggunakan alat penutup pada kemaluannya dan di bagian atas kemaluan itu hingga ke pusatnya, serta di bawah kemaluannya hingga ke lututnya; ataupun istrinya yang menggunakan alat penutup itu pada tempat tersebut pada bagian badannya. Dan disyaratkan alat penutup itu dapat menghalangi terasanya panas badan.
Apabila alat penutup itu tipis dan tidak dapat menghala¬ngi sampainya panas badan, maka penutup itu tidak memenuhi syarat. Adapun anggota badan lainnya selain yang terdapat di antara pusar dan lutut, maka dibolehkan untuk dinikmati tanpa ada perbedaan pendapat.
Hukum bersetubuh dengan seorang wanita haid sebelum darah haidnya berhenti, maka yang demikian itu haram walaupun dengan menggunakan alat penghalang seperti kondom. Orang yang menjimak istrinya di saat ia keluar darah (haid), berarti ia telah berdosa dan wajib baginya untuk bertaubat dengan segera sebagaimana juga istrinya telah berdosa karena telah memberikan kemungkinan bagi suaminya melakukan hal tersebut. Di antara ketetapan sunnah dalam hal ini adalah hendaknya laki-laki itu menyedekahkan uangnya sebanyak satu dinar atau setengah dinar.


Pendapat Hanafiyah

Mereka berkata bahwa seorang suami itu boleh menggauli istrinya apabila darah haid dan nifasnya telah habis, yaitu sepuluh hari penuh untuk batas maksimal masa haid, dan empat puluh hari untuk batas maksimal masa nifas walaupun istrinya itu belum mandi wajib Penjelasan tentang hal itu baru kita lalui. Dipersilakan untuk membaca kembali bila menghendakinya.

Pendapat Hanabilah

Mereka berkata bahwa seorang suami itu tidak diharamkan (halal) untuk menikmati istrinya dengan seluruh anggota badannya dalam keadaan haid/nifas tanpa menggunakan penghalang. Dan tidak diharamkan baginya kecuali melakukan jimak saja. Dan hal itu dianggap sebagai suatu dosa kecil menurut mereka (Hanabilah). Barang siapa mengalami cobaan dengan yang demikian itu, maka hendaknya membayar kafarat dosanya dan bersedekah dengan satu uang dinar atau separohnya jika ia mampu; jika tidak, maka kewajiban membayar kafarat itu jatuh; dan ia wajib bertaubat. Letak permasalahannya dalam hal ini adalah selama hal itu tidak menyebabkan timbulnya penyakit yang berbahaya. Jika yang demikian itu dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya maka hal itu diharamkan secara keras menurut ijma.'

Pendapat Malikiyah

Mereka berkata bahwa menjimak seorang wanita haid sewaktu ia keluar darah adalah haram secara sepakat. Permasalahannya adalah: Bolehkah seorang suami beristimta' (menikmati) sesuatu yang terdapat di antara pusar dan lutut tanpa memasukan alat kelaminnya kedalam lubang kelamin istri dengan tidak menggunakan suatu penghalang? Sebagian dari mereka cenderung membolehkan, seperti halnya madzhab Hanabilah. Akan tetapi yang mashyur menurut mereka bahwa hal itu tidak boleh walaupun menggunakan penghalang, karena kalau dibolehkan dapat mendatangkan suatu bahaya. Akan tetapi kadang¬kadang nafsu laki-laki itu bangkit sehingga ia tidak dapat menahannya. Dan Malikiyah dalam hal ini mendasarkan kaidah mazhab mereka atas dasar menjauhi segala sebab-sebab (kemungkinan) yang membawa kepada suatu hal yang haram. Mereka menamakan kaidah itu dengan "Sadd adz-Dzarai"'.

Demikianlah, dan sudah barang tentu bahwa haramnya menggauli seorang wanita yang sedang haid itu mengandung banyak kebaikan, karena para dokterpun telah sepakat secara ijma' bahwa menggauli wanita yang sedang haid itu sangat berbahaya bagi kedua alat kelamin. Namun demikian, dalam mazhab-mazhab lain ada yang berupaya untuk menghilangkan larangan. Sebab mazhab Hanafiyah membolehkan menggauli seorang wanita apabila darahnya telah berhenti dan berhentinya darah itu telah berlangsung selama satu waktu shalat penuh, misalnya dari waktu Dzuhur hingga Ashar, walaupun wanita itu belum mandi. Dan tidak dapat disangkal bahwa banyak di antara wanita yang darahnya tidak keluar terus menerus selama masa haid. Malikiyah membolehkan menggauli seorang wanita (istri) apabila darahnya itu telah berhenti (tidak keluar) walaupun hanya sebentar, dengan syarat ia telah mandi. Banyak di antara wanita yang darahnya tidak keluar pada beberapa waktu tertentu. Kemudian Malikiyah berpendapat bahwa apabila wanita menghentikan darahnya - walaupun dengan obat - maka ia boleh digauli. Karena itu, darah tidak mesti berhenti dengan sendirinya. Maka orang-orang yang bersyahwat tinggi yang tidak dapat bersabar menanti hendaknya berusaha keras untuk menghentikan darah itu sebelum menggaulinya sesuai dengan pendapat ini.

Related Posts Oƒ:



No comments:

Post a Comment

  • Free Blogger Template, jQuery I
  • Free Blogger Template with Cufón to Replace Heading Title
  • Free Blogger Template "Bukan Template Coklat"
 

nomaru-sensei 2009. Let's Yell Together: Let's Bring Islam in Eyes of The World!! and Let's Rise Rebuilding for Gaza!!